Pendahuluan
Pada bulan Agustus 2006 yang lalu, di Galeri Nasional Jakarta Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi) mengadakan sebuah seminar dengan judul “Menyikapi Booming Pendidikan Tinggi DKV, berhubungan dengan kualitas output yang dihasilkan”. Walaupun seminar terlaksana hampir satu tahun yang lalu namun hingga tulisan ini dibuat, penulis menganggap seminar tersebut paling komprehensif, bila dilihat dari karakter dan letak geografis dari lembaga pendidikan yang diundang.(1) Arti penting lain dari seminar di atas adalah karena, setidaknya, dapat menjadi titik awal bagi upaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Desain Komunikasi Visual (DKV) melalui bekerja sama antara akademisi dengan para desainer profesional.
Dalam bagian pendahuluan ini penulis akan menguraikan kembali permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh para pembicara seminar. Dalam pengantarnya, moderator seminar Hastjarjo B. Wibowo menyebut bahwa selama 13 tahun DKV berdiri di Indonesia, jumlah program studi DKV meningkat hingga 300 persen. Salah satu pembicara, Dr. Priyanto S. dalam makalahnya, menyebutkan sekitar 70 buah lembaga pendidikan tinggi DKV di seluruh Indonesia, dimana sebagian besarnya memiliki jenjang S-1. Di Jakarta saja penulis mencatat tidak kurang dari 14 buah lembaga pendidikan tinggi DKV. Meningkatnya jumlah program studi DKV adalah karena tiap tahun lulusan SMU yang berminat dan mendaftar pada program studi DKV meningkat pesat. Dari sisi bisnis ini identik dengan pangsa pasar yang sangat menggiurkan. Masalahnya banyak dari lulusan SMU tersebut tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar yang dibutuhkan sebagai prasyarat untuk menjadi mahasiswa DKV. Namun karena pertimbangan keuntungan, maka calon mahasiswa yang tidak memenuhi syarat tersebut tetap diterima oleh lembaga pendidikan tersebut.
Booming pendidikan tinggi DKV ternyata tidak memberikan kemajuan berarti bagi dunia profesi dan dunia keilmuan DKV. Penyebab pertama, seperti telah disebutkan, kualitas mahasiswa yang diterima dibawah standar. Penyebab kedua, ketersediaan tenaga pengajar yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah perguruan tinggi yang membutuhkan. Kurangnya tenaga pengajar juga terkait dengan buruknya sistem penggajian untuk tenaga pendidik pada umumnya. Penyebab ketiga, kurikulum dan program pengajaran tidak sesuai dengan kebutuhan untuk menghasilkan desainer bermutu. Dan keempat, sarana dan prasarana yang disediakan untuk mahasiswa seringkali tidak memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan industri akan tenaga desainer yang baik, dengan apa yang disediakan oleh sistem pendidikan tinggi DKV.(2)
Masalah booming pendidikan tinggi DKV hanya merupakan sebagian saja dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam lingkup pendidikan tinggi DKV maupun lingkup profesi DKV. Untuk melihat secara lebih komprehensif permasalahan pendidikan tinggi DKV ini, akan dibahas lebih dahulu masalah keilmuan dan profesi DKV serta kaitannya dengan kesenirupaan. Pembahasan kedua adalah mengkritisi masalah internal lembaga pendidikan tinggi DKV. Diharapkan dengan pembahasan sederhana ini dapat memberi gambaran permasalahan dalam sistem pendidikan tinggi DKV di Indonesia, tanpa hendak mencari solusi kongkrit. Karena untuk menghasilkan solusi kongkrit, tentu membutuhkan kajian dan penelitian yang lebih mendalam. Sebelum memasuki pembahasan, pertama perlu dijelaskan definisi DKV yang penulis gunakan.
Desain komunikasi visual adalah sebuah istilah pengganti istilah desain grafis. Hal ini tampaknya dilakukan atas pertimbangan berkembangnya bidang profesi desain grafis, dari mengolah bahasa visual untuk media cetak, meluas hingga mencakup media elektronik audio visual. Namun sesungguhnya istilah desain grafis itu sama sekali tidak menunjuk secara khusus pada media cetak. Memang William Addison Dwiggins ketika pertama kali, tahun 1922, memberi nama untuk profesi yang dijalaninya menyebut secara spesifik kaitan desain grafis dengan media cetak.(3)
Sesungguhnya istilah grafis bermakna gambar (graphos), tidak terbatas apakah gambar diam atau gerak. Sehingga pengubahan istilah desain grafis menjadi desain komunikasi visual tidak terlalu penting.(4) Bahkan menurut penulis terdapat kelemahan dari istilah “desain komunikasi visual”, ketika terjadinya penyederhanaan berlebih dengan menempatkan posisi ilmu dan profesi DKV di bawah ilmu komunikasi. Namun dalam tulisan ini istilah yang digunakan tetap DKV mengingat secara formal dalam sistem pendidikan kita, istilah desain grafis sudah tidak digunakan. Adapun definisi DKV atau desain grafis yang penulis gunakan adalah: sebuah upaya pemecahan masalah yang dilakukan secara sadar ataupun intuitif, untuk memberi keteraturan dan makna pada konfigurasi atau susunan tanda yang secara dominan menggunakan unsur-unsur visual. Definisi ini penulis susun berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh Meggs dan Papanek.(5) Bidang keahlian DKV sebagaimana definisi tersebut, merupakan salah satu potensi pemecahan masalah bagi Indonesia menuju industri kreatif yang maju.
Industri Kreatif dan Visi Indonesia 2030
Kreativitas, adalah upaya menciptakan kebaruan dengan dasar penghargaan terhadap keberbedaan – kemampuan berpikir beda yang mampu memecahkan masalah. Kreativitas semakin mendapatkan posisi yang terpandang. Bahkan kini pemahaman istilah “industri” yang terkait dengan proses mekanisasi dan massal yang sangat rasional, mulai bergeser menjadi industri kreatif (creative industry). Hal ini mengacu pada sistem industri yang lebih banyak menitikberatkan pada modal berupa kemampuan kreatif, daripada sekedar proses memproduksi dalam jumlah banyak. Kreativitas menjadi modal yang semakin menentukan besaran keuntungan, bukan sekedar faktor kuantitas dari produk yang dihasilkan. Industri kreatif mencakup berbagai bidang baik yang mencakup dunia seni dan hiburan seperti industri musik, film dan televisi, termasuk juga industri animasi dan game komputer. Demikian pula bidang perancangan seperti desain interior, desain produk, maupun desain grafis.
Industri kreatif di Inggris, menciptakan pertumbuhan tiga kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasionalnya.(6) Di negara tetangga, yaitu Singapura industri kreatifnya menyumbangkan 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Istilah “industri kreatif” dan hak cipta intelektual yang dihasilkan di dalamnya, menjelaskan mengapa nilai pasar dari perusahaan-perusahaan IBM, Intel dan Microsoft dua kali lebih tinggi daripada nilai seluruh perusahaan pembuat mobil AS – walaupun industri otomotif tersebut memiliki tingkat penjualan yang lebih besar dari ketiga perusahaan IT tersebut.(7) Industri kreatif yang menjadi basis bagi ekonomi kreatif di Asia, dipelopori oleh Jepang, Korea, Taiwan, kemudian diikuti pula oleh Cina, India, Thailand dan terakhir Singapura dan Malaysia. Berbagai kebijakan diterapkan di negara-negara tersebut, misalnya kemudahan pengucuran kredit, mendukung pameran dan kemudahan transaksi ke luar negeri, memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur untuk teknologi digital, dan lain sebagainya.(8) Di Indonesia, harapan akan berkembangnya industri kreatif mulai tampak, ketika terdapat 3 (tiga) buah lembaga, yaitu departemen perdagangan, departemen perindustrian serta, kementerian koperasi dan UKM berkomitmen untuk mencanangkan Indonesian Design Power 2007 – 2010.
Dari gambaran singkat mengenai perekonomian kreatif di atas, tergambar bahwa dibutuhkan kerjasama erat berdasarkan kesamaan visi dan misi serta komitmen di antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pihak industri, serta pihak akademisi. Namun kesungguhan untuk memilih industri kreatif sebagai strategi mendukung program pemerintah yang tercakup dalam ”Visi Indonesia 2030” dan juga Millenium Development Goals (MDGs) dari PBB(9), tidak dapat dilakukan secara instant. Hal ini secara komprehensif harus dimulai dari bagaimana masyarakat dan, khususnya pemerintah, dapat menghargai kesenian sebagai ekspresi dan sikap kreatif dari budaya nasional. Apabila pemahaman pemerintah tentang kebudayaan, kesenian, dan kreativitas, masih sebatas sebagai komoditi bagi industri pariwisata, maka penulis meragukan kemampuan Indonesia membangun industri kreatif tersebut. Negara-negara yang telah sukses dalam industri kreatifnya, sebagaimana di atas, adalah negara-negara yang memelihara dengan bangga tradisi seni-budaya dan kreativitasnya.
Untuk meningkatkan peran industri kreatif, berarti kita perlu memperhatikan bagaimana keseluruhan sistem pendidikan nasional dapat mengembangkan kemampuan kreatif dan kepekaan estetik mulai dari pendidikan tingkat dasar. Sebagaimana kita ketahui, kelemahan nyata yang ada dalam kurikulum nasional adalah kecilnya porsi pengembangan kreativitas dan kesenirupaan pada peserta didik di tingkat dasar dan menengah. Kesenian adalah sektor yang selama 30 tahun lebih terpinggirkan oleh ideologi pembangunan yang sangat fungsional dan pragmatis. Kalaupun kesenian dihormati, itu lebih disebabkan karena kesenian dan kebudayaan dianggap komoditi dagang untuk mendukung kepariwisataan. Kesenian, khususnya seni rupa, ditempatkan dalam kurikulum nasional sangat minim, karena dianggap sebagai sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat banyak bagi pembangunan nasional.
Kesenirupaan sebagai dasar pendidikan tinggi desain
Sesungguhnya lembaga pendidikan tinggi DKV di Indonesia yang baik dapat memiliki peran penting dalam membangun industri kreatif di Indonesia. Namun tentunya hal tersebut membutuhkan berbagai kondisi yang harus diupayakan oleh berbagai pihak, khususnya penyelenggara pendidikan itu sendiri. Salah satu upaya mendasar sebelum membangun pendidikan tinggi Desain yang mampu mendukung industri kreatif, adalah membangun suasana berkesenian yang kondusif pada tingkat nasional. Namun karena keterbatasan ruang, maka dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas masalah kesenirupaan dalam pendidikan tinggi desain komunikasi visual. Tidak saja karena seni rupa dapat menjadi alat utama yang fungsional untuk meningkatkan kreativitas dan kepekaan estetik, tetapi juga secara epistemologis ilmu dan keahlian desain terlahir dari prinsip estetika milik seni rupa.
Dalam berbagai jenis buku sejarah Desain Grafis(10), pembahasan tentang asal usul desain grafis tidak bisa dilepaskan dari berbagai jenis aliran seni rupa moderen seperti Art Deco, De Stijl, Konstruktivisme, Futurisme, Kubisme, Dada, hingga Pop-Art. Bahkan juga aliran ’perantara’ di pergantian abad 19 ke abad 20, seperti Art Nouveau dan Art and Craft Movement. Sebelum istilah ”desain” menjadi umum pun nama yang digunakan adalah ”seni komersial” atau commercial arts. Secara formal hubungan antara seni murni dan desain dibakukan oleh Gropius melalui sekolah Bauhaus. Seniman-seniman moderen dari aliran-aliran di atas adalah orang yang juga mengerjakan pesanan-pesanan desain dari dunia industri. Kecuali Andy Warhol yang sebenarnya adalah seorang desainer, sebelum dia menjadi seniman penuh.
Secara historis seni rupa adalah awal kelahiran DKV, melalui proses metamorfosis dari istilah seni terapan atau seni komersial. Secara keahlian pun antara DKV dan Seni Rupa menggunakan keahlian yang sama: kepekaan dalam mengolah unsur visual. Bahkan sesungguhnya sulit membedakan apakah DKV itu berbeda dari seni rupa. Prof. Dr Primadi Tabrani dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa, pada awalnya para ahli bangunan dan seniman tradisional tidak pernah membedakan kegiatan berkesenian ataupun membuat benda pakai. Wayang kulit misalnya, merupakan perpaduan yang harmonis antara seni rupa, seni pertunjukan, seni musik, seni sastra dengan sisi komunikasi yang bersifat sosial – yang kini sering kita sebut desain dan ilmu komunikasi. Hal yang sama dapat dilihat pada ajaran Hindu yang direkam dalam relief candi Borobudur, misalnya. Di banyak masyarakat tradisional berkesenian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kegiatan keseharian, termasuk ritual keagamaan. Perkembangan dalam seni rupa kontemporer di Indonesia maupun dalam seni rupa global menunjukkan terjadinya pertemuan kembali dunia seni rupa dan DKV.(11) Pemahaman barat (klasik) lah yang menyatakan bahwa seni adalah kegiatan yang dilakukan ketika manusia memiliki waktu senggang. Bukankah pembedaan ini dibawa oleh pemahaman akademis barat yang rasional? Untuk kepentingan epistemologis keilmuan dan perkembangan desain Indonesia di masa depan, hal ini perlu kita kaji ulang bersama.
Beberapa ahli desain berupaya membedakan seni dan desain. Seni dianggap berhubungan dengan masalah komposisional – penyusunan komponen visual semata, sedangkan desain lebih terkait dengan masalah komunikasi dengan audience. Namun sesungguhnya ini dapat dipertanyakan pula ketika pada dasarnya seni adalah juga merupakan bentuk komunikasi seniman dengan masyarakat. Memang ada seniman yang bekerja tanpa mempedulikan persepsi dari khalayak. Namun bagaimana dengan seniman yang sangat peduli dengan aspek komunikasi dari karya seninya. Dalam praktek seni rupa kontemporer, hal ini semakin terlihat nyata. Ada pula anggapan bahwa seni dianggap cenderung pada kreativitas, sedangkan desain lebih pada masalah problem-solving. Namun hal ini pun dapat ditolak, mengingat upaya problem-solving itu sendiri adalah juga mengandung unsur kreativitas.(12) John Berger, sebagaimana dikutip oleh Barnard, berkeyakinan bahwa desain grafis yang ditampilkan dalam periklanan di negara barat merupakan kelanjutan dari seni rupa di Eropa sebelum digunakannya kamera fotografi, karena kemiripan dalam teknik ilustratif dan persuasifnya. Namun demikian di akhir tulisannya Berger tetap membedakan seni rupa dan periklanan, mengingat periklanan – berbeda dari seni rupa – adalah perangkat kapitalisme untuk menentukan tolok-ukur palsu mengenai apa yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh masyarakat.
Dalam hal ini penulis memahami pendapat Banham lebih sesuai – walaupun bukannya tanpa kelemahan – ketika dia membedakan seni rupa dari desain grafis sebagai berikut: seni rupa lebih terkait dengan ekspresi pribadi dan individualitas.(15) Sementara desain grafis terkait dengan tugas untuk mengkomunikasikan pesan suatu pihak agar pengguna media desain grafis itu dapat memahaminya secara tepat – dengan sesedikit mungkin distorsi persepsi. Perhatian desainer agar penerima pesan dapat memahami pesan sesuai aslinya, adalah hal yang hampir tidak dapat ditemukan pada karya seni rupa. Sifat ekspresi pribadi dan individualitas dari karya seni rupa itu menjadikan si seniman tidak terlalu mempedulikan bagaimana penerima pesan menerjemahkan makna dari karya seni rupa tersebut. Seni rupa bahkan cenderung memanfaatkan permainan metafora visual sebagai kekayaan seni rupa. Keanekamaknaan sebuah karya seni menjadi sebuah nilai lebih yang tinggi nilainya, karena memberi kesempatan imajinasi khalayak berkembang. Sebaliknya karya seni rupa yang berekspresi atau menyampaikan pesannya secara langsung dan eksplisit – tanpa permainan simbol dan metafora seringkali dianggap dangkal dan rendah. Namun dalam beberapa kasus khusus seringkali batasan ini menjadi baur ketika: sebuah karya desain grafis, misalnya poster Polandia, dibuat sebagai suatu ekspresi pribadi dari seorang desainer tanpa mempedulikan lagi persepsi dari pengguna karya desain itu. Sebaliknya sebuah karya seni rupa dibuat oleh seorang seniman sebagai sarana propaganda untuk menggugah khalayak pemirsa. Pada titik inilah menurut penulis, terdapat daerah kelabu antara desain grafis dan seni rupa. Oleh karena itu secara definitif tidak mungkin membedakan secara pasti antara desain grafis dari seni rupa.
Kini ketika DKV telah berevolusi hingga pada bentuknya saat ini, maka keterlibatan berbagai disiplin ilmu sosial, menjadi mutlak. Tentunya hal ini bergantung pada besaran dan luasnya pekerjaan desain. Semakin luas cakupan desain dan semakin kompleks target pemecahan masalah yang jadi tujuan perancangan, maka akan semakin tinggi kebutuhan kerjasama multidisiplin, sebagaimana dikatakan Twemlow:
”Graphic design is becoming increasingly interdisciplinary, geographically distributed, and collaborative. Complex problems require sophisticated responses that draw from expertise in multiple fields…..working collaboratively within and beyond design is not a radical new concept. Pentagram, possibly design’s most respected and well-known firm, was set up in 1972 to accommodate scenarios of collaborative interactive practice.”(16)
Kerjasama multidisiplin dalam DKV menjadi semakin penting ketika pertimbangan waktu menjadi semakin utama. Artinya semakin sedikit waktu untuk mempelajari sendiri hal-hal yang berada di luar disiplin DKV. Bahkan selain variabel keterbatasan waktu juga perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin luas.
Selain kerjasama lintas-disiplin atau multidisiplin, dalam tubuh dunia DKV pun terjadi fenomena kolaborasi dan interkoneksi yang menarik. Menarik karena disatu sisi tekonologi digital memudahkan orang untuk mengerjakan berbagai media DKV seorang diri; namun di sisi lain keterbatasan waktu mengharuskan seorang desainer yang memiliki kemampuan merancang suatu media, bekerjasama dengan desainer lain yang memiliki kemampuan merancang media lainnya. Terlebih lagi, sebagaimana telah disebutkan di atas, apabila pekerjaan yang dihadapi memiliki cakupan luas. Kemampuan untuk bekerjasama baik lintas disiplin maupun intra-disiplin menjadi penting bagi desainer komunikasi visual. Singkatnya kecenderungan yang semakin nyata dalam proses perancangan DKV adalah multispesialisasi, atau lintas-spesialisasi. Papanek menyebut pentingnya para desainer, arsitek dan planner bekerja sebagai ahli yang bersifat sintesis.(17)
Kesimpulan singkatnya adalah, keberhasilan desain grafis dalam prakteknya membutuhkan keterlibatan berbagai disiplin ilmu. Hal ini disebabkan karena desain grafis, sebagai sebuah pemecahan masalah, memiliki tujuan utama untuk mempengaruhi pemahaman atau perilaku satu individu dalam suatu masyarakat. Namun dalam upaya penguasaan teknik desain grafis, apa yang sangat dibutuhkan adalah kemampuan yang sama dengan kemampuan dalam seni rupa: keterampilan dan kepekaan mengolah elemen visual secara estetik. DKV merupakan perpaduan antara ilmu kesenirupaan/estetika dan sosial-komunikasi yang erat. Dalam sebuah tulisan, Jorge Frascara(18)menjelaskan bahwa apabila Desain Grafis terlalu mementingkan gaya visual (dan estetika), maka ia akan terjebak pada seni rupa semata. Sehingga desain sign system misalnya, yang membutuhkan pendalaman psikologi persepsi visual (yang didasarkan ukuran kuantitatif) menjadi tidak terbahas.
Hal terpenting adalah bagaimana menerapkan kesadaran bahwa seni rupa merupakan awal kelahiran sekaligus dasar keahlian dari DKV. Sangat sulit dipahami bagaimana mungkin program studi DKV yang terpisah sama sekali dari seni rupa. Fenomena Fakultas Seni Rupa dan Desain dalam perguruan tinggi swasta, yang tidak membuka program studi seni murni – betapapun pentingnya makna seni murni – adalah sebuah fenomena bisnis. Karena membuka program studi seni murni adalah sebuah cost-center, bukan profit-center. Solusi yang ideal adalah, bila para penyelenggara program studi DKV swasta tidak mampu mendirikan program studi seni murni, setidaknya berupaya memasukan pemahaman, wawasan dan skill kesenirupaan sebagai bagian integral dalam proses pendidikan DKV. Idealnya pada semester-semester awal, program studi DKV mengenalkan seni murni pada mahasiswa. Menciptakan standar penguasaan tertentu pada mahasiswa untuk mampu berpikir imajinatif dan intuitif, serta peka dalam mengolah elemen visual. Sebaliknya memperdalam spesialisasi desain dengan berbagai multidisiplin pendukung diperkenalkan pada tingkat-tingkat akhir program studi DKV.
Memahami DKV sebagai sebuah bidang keahlian yang terkait erat dengan seni rupa sebagai akar, tidak berarti menolak arti penting pengembangan ilmu desain (komunikasi visual) untuk menjadi sebuah disiplin keilmuan tersendiri di masa depan. Namun yang terakhir ini membutuhkan kajian filsafat keilmuan tersendiri menyangkut ontologi dan epistemologi teori desain, hingga terbangun budaya intelektual desain yang sebanding dengan disiplin ilmu lainnya.(19) Kajian filsafat keilmuan demikian tentunya tidak dibahas dalam tulisan ini.
Membangun Karakter khusus dari sebuah Program Studi DKV
Keunggulan sebuah program studi DKV dalam membangun peran ditengah perekonomian kreatif, dapat dilihat dari:
• Visi-misi yang terkait dengan kelebihan atau keunggulan mutu
• Kurikulum
• Metode pembelajaran
• Berbagai sarana dan prasarana
Dari keempat hal di atas, sebagaimana kita semua ketahui, membangun program studi tidaklah mudah dan sederhana. Visi misi dan kurikulum yang baik saja barulah setengah jalan dari upaya menciptakan program studi yang baik. Namun karena keterbatasan ruang lah maka tulisan ini hanya akan membahas dua hal pertama: visi-misi dan kurikulum.
Pemahaman dari visi-misi adalah arah dan kepribadian seperti apa yang akan dipilih oleh sebuah program studi. Penyelenggara pendidikan perlu mengenal kelebihan dan kelemahan dirinya agar lembaga yang dia dirikan memiliki keunggulan mutu.(20) Keunggulan mutu yang diangkat dari karakter dan ciri khas tiap-tiap lembaga pendidikan tinggi adalah sebuah strategi diferensiasi yang tampaknya mutlak dilakukan dalam era booming pendidikan DKV. Namun upaya menciptakan diferensiasi berdasarkan keunggulan mutu dan ciri khas tiap lembaga seharusnya tidak disebabkan hanya karena pertimbangan pemasaran. Menciptakan diferensiasi atau fokus pendidikan adalah sebuah upaya untuk mengoptimalkan kemampuan dan menghilangkan kelemahan.
Beberapa keunggulan mutu yang dapat disebutkan misalnya:
• Keunggulan mutu dalam teori/konsep seni rupa dan desain
• Keunggulan mutu dalam pendidikan desain kelas premium
• Keunggulan mutu dan penguasaan dalam teknologi citra digital
• Keunggulan mutu dalam kewirausahaan
• Keunggulan mutu yang berorientasi penelitian dan konseptual-teoretik
• Keunggulan mutu dalam kesenirupaan
• Keunggulan mutu dari sisi kultural geografis
Misalnya saja keunggulan mutu dari sisi kultural geografis; lembaga pendidikan yang ada di kota bernuansa urban atau metropolitan akan memiliki karakter yang, idealnya, berbeda dengan yang ada di kota dengan nuansa tradisi yang kental. Keunggulan dalam konteks kultural dapat menjadi sesuatu yang menjanjikan, mengingat bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat tinggi. Keragaman budaya yang selama 30 tahun Orde Baru disederhanakan dalam budaya adiluhung tradisional Jawa sebagai puncak budaya, kini terbuka lebih beragam. Keunggulan mutu berbasis multikulturalisme menjadi sebuah potensi yang sangat besar, terlebih bila dihadapkan dengan fenomena globalisasi yang identik dengan penyeragaman – sebagaimana telah dijelaskan di atas. Demikian pula keunggulan mutu berbasis kesenirupaan menjadi sebuah diferensiasi yang sangat strategis.
Berbagai keunggulan mutu atau peminatan khusus yang dijelaskan di atas, menurut hemat penulis penting untuk dimiliki oleh tiap lembaga pendidikan. Keunggulan mutu tersebut sangat beragam dan hampir tanpa batas. Namun untuk menyimpulkan apa keunggulan dari sebuah perguruan tinggi, akan membutuhkan suatu analisa SWOT yang sangat jujur, terbuka dan menyeluruh. Dari keunggulan mutu yang telah ditentukan, harus diturunkan dalam kurikulum yang sesuai. Pada umumnya kurikulum Program Studi DKV yang ada di Indonesia, masih bersifat meluas dan umum (broadspectrum). Artinya selama 4 tahun mendapatkan 140 – 144 SKS mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan yang sangat luas, namun tidak mendalam.(21) Kurikulum demikian memiliki keuntungan bahwa lulusan DKV akan memiliki kesempatan luas untuk masuk ke berbagai sektor kerja/profesi DKV yang terus berkembang. Namun sebagaimana kita ketahui, tentu saja ada kelemahannya. Yaitu dari seluruh materi yang dipelajari, mungkin sebagian besarnya tidak dibutuhkan lagi ketika si-mahasiswa terjun di bidang profesional. Kelemahan lain dari kurikulum yang broadspectrum adalah mahasiswa tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai satu bidang kerja yang akan digeluti. Hal ini yang menurut hemat penulis menjadi penyebab bahwa lulusan DKV tidak menampilkan kinerja yang sepadan dengan gelar sarjana yang diterima.
Apabila orientasi lembaga mengarah pada industri kreatif, maka kurikulum yang digunakan harus lebih terfokus sesuai dengan bidang profesi dalam dunia DKV. Kurikulum yang terfokus pada satu bidang keahlian atau profesi adalah sesuai dengan perkembangan dunia profesi DKV yang semakin meluas dan berkembang. Adapun berbagai spesialisasi(22) yang dapat dikembangkan adalah: desain periklanan, desain grafis, desain multimedia, desain ilustrasi dan komik, desain animasi, dan lain sebagainya.
Konsep spesialisasi ini memang bukannya tanpa kelemahan. Ada kekhawatiran bahwa lulusan DKV yang terspesialisasi akan terkotak dalam satu bidang yang sempit. Itu sebabnya dalam pendidikan tinggi DKV penting ditekankan prinsip kolaborasi dan interkoneksi. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, ’jalan tengah’ dari spesialisasi adalah dengan kerjasama diantara berbagai spesialisasi – atau lintas-spesialisasi/multispesialisasi. Secara teknis kurikulum dapat disusun dalam susunan peminatan khusus yang ’utama’ dan peminatan khusus ’sekunder’. Sekedar sebagai contoh, 60 – 70 persen mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa berasal dari spesialisasi Periklanan, selebihnya 40 – 30 persen lagi merupakan mata kuliah yang berasal dari spesialisasi Audio-Visual atau Fotografi.
Konsep lintas atau multi spesialisasi harus diterjemahkan pula dalam berbagai penugasan yang bersifat kerja kelompok dan kerja aktif dan lintas-disiplin. Metode pembelajaran yang menekankan pentingnya kerja lintas-spesialisasi tersebut menjadi semakin penting pada tahap pertengahan dan tahap akhir masa studi. Karena pada tingkat itulah mahasiswa harus semakin menyesuaikan diri dengan kondisi nyata di lapangan kerja yang akan digelutinya. Hal ini juga berlaku dalam konteks yang lebih luas, yaitu kerja multidisiplin atau lintas disiplin di luar desain. Idealnya dalam kurikulum DKV mahasiswa mendapat kesempatan memilih beberapa mata kuliah di luar program studi DKV, atau bahkan di luar Fakultas Seni Rupa dan Desain.